MAKALAH
PILKADA DI INDONESIA
(Studi
Kasus Pilkada di Provinsi Banten Tahun 2006, 2011 dan 2017)
Untuk
memenuhi nilai tugas mata kuliah politik lokal
Dosen pengampu :
Abdul Hamid,
Ph.D
Penyusun :
ANGGA ROSIDIN
(6670150003)
NOVAN HERMAWAN
(6670150054)
SITI KHOLISOH
AHYANI (6670150066)
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2017
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pemilihan
langsung kepala daerah (pilkada langsung) merupakan kerangka kelembagaan baru dalam
rangka mewujudkan proses demokratisasi di daerah. Proses ini diharapkan bisa mereduksi secara luas adanya pembajakan
kekuasaan yangdilakukan oleh partai politik yang memiliki kursi di Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Selain itu, pilkada secara langsung juga diharapkan
bisa menghasilkan kepala daerah yang memiliki akuntabilitas lebih tinggi kepada
rakyat. Meskipun makna langsung di sini
lebih berfokus pada hak rakyat untuk memilih kepala daerah, para calon kepala
daerah lebih banyak ditentukan oleh partai politik. Belakangan calon perseorangan
memang dimungkinkan dalam pilkada, namun hal tersebut tidak begitu saja mampu mengesampingkan
posisi dan peran partai politik di dalam pilkada langsung.
Pilkada
langsung di Indonesia sendiri dilaksanakan sejak Juni 2005. Pelaksana pilkada
langsung tersebut sebelumnya didahului keberhasilan pelaksanaan pemilihan
presiden dan wakil presiden pada tahun 2004. Penyelenggaraan pilkada langsung
diintrodusir di dalam Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang merupakan UU hasil revisi atas UU No. 22 Tahun 1999 mengenaisubstansi
yang sama. Semangat yang muncul dari pelaksanaan pilkada langsung di antaranya adalah
untuk mengembalikan hak-hak politik rakyat yang selama ini dilakukan hanya
melalui perwakilan mereka di DPRD. Pelaksanaan pilkada secara langsung juga
sebagai upaya untuk memperbaiki kehidupan demokrasi setelah terjadi pergantian
rezim Orde Baru ke reformasi. Dalam rangka itu, pilkada langsung juga sebagai
ajang bagi daerah untuk menemukan calon-calon pemimpin daerah yang berintegritas
dan bisa mengemban amanat rakyat. Pilkada langsung berpeluang mendorong majunya
calon kepala daerah yang kredibel dan akseptabel dimata masyarakat daerah
sekaligus menguatkan derajat legitimasinya. Dengan demikian, pilkada langsung
dapat memperluas akses masyarakat lokal untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan
yang menyangkut kepentingan mereka. Artinya, masyarakat berkesempatan untuk
terlibat mempengaruhi pembuatan kebijakan publik yang dilakukan kepala daerah
sebagaimana janjinya saat kampanye dan ikut pula mengawasi kepala daerah jika
menyalahgunakan kekuasaan sehingga proses ini dapat memaksa kepala daerah untuk
tetap memperhatikan aspirasi rakyat.
Pilkada
langsung merupakan terobosan politik yang signifikan dan berimplikasi cukup
luas terhadap daerah dan masyarakatnya untuk mewujudkan demokratisasi di
tingkat lokal. Karena itu, pilkada langsung merupakan proses penguatan dan pendalaman
demokrasi (deepening democracy) serta upaya untuk mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik dan efektif. Pada dasarnya, pilkada langsung merupakan
daulat rakyat sebagai salah satu realisasi prinsip-prinsip demokrasi yang meliputi
jaminan atas prinsipprinsip kebebasan individu dan persamaan, khususnya dalam
hak politik. Yang dimaksud di sini adalah para calon lebih banyak ditentukan
oleh elite partai atau perlunya sebuah persetujuan dari petinggi partai politik
untuk bisa menjadi calon partai yang bersangkutan.
Dalam
konteks tersebut, pilkada langsung memiliki urgensi terhadap upaya memperbaiki kualitas
kehidupan demokrasi. Alasannya, seperti diungkapkan Haris pertama, pilkada
langsung diperlukan untuk memutus mata rantai oligarki partai yang harus diakui
cenderung mewarnai kehidupan partai di DPRD. Artinya pilkada langsung diperlukan
untuk memutus mata rantai politisasi atas aspirasi publik yang cenderung dilakukan
partai-partai dan para politisi partai. Kedua, pilkada langsung diperlukan
untuk meningkatkan kualitas akuntabilitas para elite politik lokal, termasuk
kepala daerah. Sebelum pilkada langsung, kepala daerah cenderung menciptakan
ketergantungan terhadap DPRD, sehingga ia lebih bertanggung jawab kepada DPRD
daripada kepada rakyat. Ketiga, pilkada langsung diperlukan untuk menciptakan
stabilitas politik dan pemerintahan di tingkat lokal. Pemberhentian atau
pencopotan di tengah masa jabatan kerap berdampak pada munculnya gejolak
politik lokal. Diharapkan dengan pilkada langsung mereka yang terpilih bisa
menjabat selama lima tahun. Keempat, pilkada langsung kepala daerah akan memperkuat
dan meningkatkan kualitas seleksi kepemimpinan nasional karena makin terbuka
peluang munculnya pemimpin nasional yang muncul dari bawah atau daerah. Kelima,
pilkada secara langsung bisa lebih meningkatkan kualitas keterwakilan
(representativeness) karena masyarakat dapat menentukan siapa yang akan menjadi
pemimpinnya di tingkat lokal.
Pilkada
merupakan salah satu pesta demokrasi di Indonesia yang dilakukan di sebuah
propinsi. Pesta demokrasi tersebut acap kali didengar dalam pemberitaan di
media massa baik lokal maupun nasional sering berdampak negatif atau terjadi
konflik. Konflik terjadi diantara para pendukung calon kepala daerah tersebut
yang memang dikenal sangat fanatik. Pilkada sebagai kendaraan demokrasi
sebenarnya dirancang untuk mentransformasikan sifat konflik yang terjadi di
masyarakat. Pilkada berupaya mengarahkan agar konflik tidak meluas menjadi
kekerasan pada kenyataannya seringkali jauh dari apa yang diharapkan. Pilkada
yang dirancang justru menjadi ajang baru timbulnya konflik kekerasan antar pendukung
calon kepala daerah. Indonesia menganut sistem pemerintahan Demokrasi. Salah satu
perwujudan dari digunakannya sistem demokrasi di Indonesia adalah Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung. Pemilihan Kepala Daerah atau sering
disebut dengan Pilkada merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di
wilayah Provinsi dan atau Kabupaten/Kota dimana pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur untuk Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati untuk Kabupaten, dan Walikota
dan Wakil Walikota untuk kota. Setelah suksesnya Pemilu tahun 2004, mulai bulan
Juni 2005 lalu di 226 daerah meliputi 11 propinsi serta 215 kabupaten dan kota,
diadakan Pilkada untuk memilih para pemimpin daerahnya. Kesadaran akan
pentingnya demokrasi sekarang ini sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari
peran serta rakyat Indonesia dalam melaksanakan Pemilihan Umum baik yang dilaksakan
oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tidak seperti tahun tahun yang
dahulu yang menggunakan perwakilan dari partai. Pilkada secara langsung
merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Latar belakang diadakannya
pilkada yaitu merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat, karena pemilihan
presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, kepala desa telah dilakukan secara
langsung. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi politik bagi
rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa
tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya. Namun tidak dipungkiri masih banyak daerah
yang mengalami kegagalan dalam pelaksanaan Pilkada hal tersebut dibuktikan dengan
seringakali adanya gugatan dari para peserta Pilkada yang tidak menang dan
merasa dirugikan.
Dalam
pembahasan pilkada di Indonesia Banten sudah beberapa pakar politik untuk
meneliti tentang fenomena yang terjadi baik itu formal maupun informal dalam
mencari datanya. Tak bisa dipungkiri provinsi Banten sebagai provinsi baru
sudah menjadi bahan perbincangan nasional baik itu prestasi atau sebuah
keburukan. Di prestasi mungkin bisa dikatakan bahwa kepemimpinan provinsi di
Indonesia yang dipegang oleh wanita adalah provinsi Banten. Juga gubernur yang
selalu korupsi disetiap dekade kepemimpinan adalah provinsi Banten. Perlu
diketahui sejak berdirinya provinsi Banten sampai sekarang semua proses
pilkadanya dikendalikan oleh dinasti jawara yaitu keluarga H. Chasan Shohib
yaitu ayahanda Ibu Ratu Atut Chosiyah. Banyak juga para peneliti yang
profesinal mengulik tentang perpolitikan Banten. Karena lahirnya babak baru
perpolitikan Banten dari pilkada pertama yang dimenangkan oleh Ratu Atut
Chasiah. Hanya berganti wakil saja setiap pemilihan. Dan dielemen bawahpun
semua keluarga dinasti Atut mendapatkan kursi kepemimpinan baik di kepala
daerah kabupaten/kota ataupun DPRD kabupaten/kota. Hal ini menarik bahwa jika
pahami lebih dalam bahwa apa pentingnya pemilu secara langsung diadakan
sedangkan yang menjadi pemenang adalah dinasti Atut untuk di Provinsi Banten.
Makalah ini menkaji hal tersebut untuk dipahami secara empiris dan rasionalis
karena hal ini menjadi sebuah permasalahan klasik di provinsi Banten yang tak
terselesaikan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
pemaparan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Apa
yang menjadi dasar dan alasan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung?
2. Bagaimana
pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang berbasiskan nilai-nilai pada Pancasila?
3. Bagaimana
proses pilkada di Provinsi Banten selama ini?
4. Apa
yang menjadi faktor dari permasalahan yang terjadi pada pilkada Provinsi
Banten?
1.3. Kerangka Konseptual
Pendalaman demokrasi
seperti diungkap Reuschmeyer (1992) adalah suatu upaya untuk mengatasi
kelemahan praktik demokrasi substantif, khususnya dalam merespon tuntutan-tuntutan
masyarakat lokal. Pendalaman demokrasi menurut Fung dan Olin-Wright (2003) juga
diperlukan untuk memenuhi gagasan sentral mengenai demokrasi politik yang
meliputi beberapa hal penting, seperti pemberian fasilitas kepada masyarakat agar
mereka terlibat dalam politik: mendorong terjadinya konsensus politik melalui
dialog, merealisasikan kebijakan publik yang dapat menciptakan efektivitas
ekonomi dan masyarakat yang sehat, dan memberikan proteksi agar warga negara
juga menikmati kekayaan negara. Dengan demikian akan memungkinkan banyak orang terlibat
dalam proses kebijakan di pemerintahan lokal. Dengan kata lain, dapat dikatakan
bahwa dalam pemerintahan lokal potensi warga tidak hanya dalam keterlibatan di
pemilu lokal atau duduknya di parlemen, lebih jauh adalah keterlibatan aktif
warganya secara lebih luas. Munculnya perhatian terhadap transisi demokrasi di
daerah itu menurut Brian C Smith (1998) berangkat dari suatu keyakinan bahwa demokrasi
di daerah merupakan prasyarat bagi munculnya demokrasi di tingkat nasional. Asumsi
ini berangkat bahwa ketika terdapat perbaikan kualitas demokrasi di daerah,
secara otomatis bisa diartikan sebagai adanya perbaikan kualitas demokrasi di
tingkat nasional. Beberapa alasannya antara lain, demokrasi pemerintahan di
daerah merupakan suatu ajang pendidikan politik yang relevan bagi warga negara
di dalam suatu masyarakat yang demokratis. Artinya, terdapat unsur proximity
bahwa pemerintah daerah merupakan bagian dari pemerintah yang langsung
berinteraksi dengan masyarakat ketika proses demokratisasi berlangsung. Tidak
hanya itu, pemerintah daerah seperti dikatakan Larry Diamond (1999), memiliki
peran yang cukup penting dalam mempercepat vitalitasdemokrasi. Diamond
memberikan sejumlah alasan bahwa pemerintah daerah dapat membantu mengembangkan
nilai-nilai dan keterampilan berdemokrasi di kalangan warganya. Pemerintah daerah
juga dapat meningkatkan akuntabilitas dan pertanggungjawaban kepada berbagai kepentingan
yang ada di daerah. Selain itu, pemerintah daerah dapat menyediakan saluran dan
akses tambahan terhadap kelompok – kelompok yang secara historis
termarginalisasi. Ketika hal ini terpenuhi, terdapat kecenderungan adanya tingkat
keterwakilan demokrasi yang lebih baik. Ujungnya, pemerintah daerah bisa mendorong
terwujudnya checks and balances didalam kekuasaan. Merujuk Diamond dalam
Developing Democracy Toward Consolidation (2003), seperti dicatat Sahdan,
pilkada lebih jauh dilihat sebagai ruang bagi developing democrary. Pembangunan
demokrasi di sini mencakup penguatan masyarakat publik (political society), penguatan
masyarakat ekonomi (economic society) dan penguatan masyarakat budaya (cultural
society). Pembangunan demokrasi juga mencakup penguatan dan engagement masyarakat
sipil (voice, access and control), birokrasi yang netral, provisional dan
usable, penguatan rule of law, serta institusionlasasi ekonomi dan politik.
Goran Hayden dalam Governance and Politics in Africa (1992) juga melihat
pilkada sebagai arena untuk menciptakan local good goovernance. Penciptaan
tatanan pemerintahan lokal yang baik ini kemudian mencakup tiga dimensi dari
governance, yaitu dimensi aktor, struktur, dan dimensi empiris. Pada dimensi
aktor, pilkada hendak menekankan pentingnya kekuasaan, kewenangan, resiprositas
antara rakyat dan pemimpin serta pergantian kekuasaan. Dengan pilkada maka
tidak ada lagi kekuasaan yang terpusat dan tersentral di tangan segelintir
orang dan kekuasaan yang diperoleh memiliki legitimasi yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan.
Sementara dimensi struktur, menekankan pentingnya sikap kesukarelaan
(compliance), kepercayaan (trust), akuntabilitas (accountability) dan inovasi (innovation).
Struktur dan lingkungan politik lokal, menurut Hayden seperti dijelaskan
Sahdan, harus mampu memberikan akses dan kesempatan yang sama kepada semua
orang untuk menjadi pemimpin. Sedangkan dimensi empirik menekankan pentingnya peran
warga negara, kepemimpinan yang responsif dan bertanggungjawab, serta resiprositas
sosial. Untuk mengukur peran warga dapat dilihat dari tingkat partisipasi
politik, pemahaman terhadap agregasi kepentingan, dan pertanggungjawaban
publik. Sementara untuk mengukur kepemimpinan responsif dapat dilihat dari tingkat
pemahaman terhadap arena publik (public realm), tingkat keterbukaan kebijakan
publik, dan tingkat ketaatan terhadap hukum. Esensi demokrasi adalah
partisipasi politik. Penentuan pejabat politik adalah bagian dari partisipasi
politik. Pemilihan pejabat politik secara langsung lebih demokratis
dibandingkan melalui mekanisme perwakila. Dalam konteks itu pemilihan secara
langsung kepala daerah pada gilirannya akan meningkatkan kualitas keterwakilan
karena masyarakat menentukan pemimpinnya sensiri. Ketelibatan masyarakat secara
langsung dalam proses pemilihan kepala daerah ini pada gilirannya nanti akan
memperkuat legitimasi kepala daerah. Namun demokratisasi ditingkat lokal
tersebut mendapat tantangan dalam pelaksanannya. Terdapat sejumlah konflik.
Dibeberapa daerah. (Lili Romli, 2007)
Bagian
Kedelapan
Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Paragraf
Kesatu
Pemilihan
Pasal
56
(1)
Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang
dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil.
(2)
Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik
atau gabungan partai politik.
Pasal
57
(1)
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggungjawab
kepada DPRD.
(2)
Dalam melaksanakan tugasnya, KPUD menyampaikan laporan penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada DPRD.
(3)
Dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah, dibentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah yang keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan
tinggi, pers, dan tokoh masyarakat.
(4)
Anggota panitia pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah 5 (lima)
orang untuk provinsi, 5 (lima) orang untuk kabupaten/kota dan 3 (tiga) orang
untuk kecamatan.
(5)
Panitia pengawas kecamatan diusulkan oleh panitia pengawas kabupaten/kota untuk
ditetapkan oleh DPRD.
(6)
Dalam hal tidak didapatkan unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3), panitia
pengawas kabupaten/kota/kecamatan dapat diisi oleh unsur yang lainnya.
(7)
Panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dibentuk oleh
dan bertanggungjawab kepada DPRD dan berkewajiban menyampaikan laporannya.
Pasal
58
Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah
warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat:
a.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.
setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, dan kepada
Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;
c.
berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau
sederajat;
d.
berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
e.
sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh
dari tim dokter;
f.
tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih;
g.
tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
h.
mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;
i.
menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
j.
tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara
badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara.
k.
tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
l.
tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
m.
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP
wajib mempunyai bukti pembayaran pajak;
n.
menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat
pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;
o.
belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2
(dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; dan
p.
tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1.
Dasar Serta Alasan Masyarakat Agar
Pemilihan Kepala Daerah Dilaksanakan Secara Langsung
Electoral
reform atau pembaharuan tata pemilihan telah mulai berlangsung sejak tahun
1999, yaitu dengan dilakukannya Pemilu yang paling demokratis dan adil sejak
lima puluh tahun terakhir. Pemilu itu memang telah menghasilkan dilahirkannya
kepemimpinan yang ideal yang baru, meskipun secara umum masih jauh dari ideal.
Pemilu yang mengharuskan rakyat memilih Partai Politik merupakan salah satu
hambatan terbesar dalam mengupayakan perbaikan akuntabilitas kepempinan
nasional. Wakil-wakil dari partai yang menduduki kursi kepresidenan dan
jabatan-jabatan politik lain tidak mampu mendapatkan justifikasi dan legitimasi
sebagai wakil rakyat. Sebab pada kenyataanya memang mereka dipilih oleh partai.
Maka sering dikatakan bahwa para pejabat politik lebih merupakan wakil partai
dari pada wakil rakyat. Apakah sistem pemilihan tidak langsung dan langsung
merupakan alasan utama dari buruknya mutu keterwakilan di Indonesia? Mungkin
secara umum-teoritis dapat dikatakan bahwa sistem pemilihan adalah sama saja,
sejauh kepentingan dan aspirasi rakyat dipentingkan dan diperhatikan oleh para
pejabat politik (Agung Djokosoekerto:2003)
Pemilihan
Kepala Daerah secara langsung merupaka suatu kebutuhan untuk mengoreksi
terjadinya penyimpangan penerapan otonomi daerah yang ditunjukan para elit
ditingkat lokal. Asumsi bahwa otonomi daerah akan lebih meningkatkan kualitas
pelayanan publik, dalam banyak kasus ternyata hanya janji kosong yang tidak
terbukti kebenaranya. Yang terlihat justru maraknya perilaku elit lokal baik
dari kalangan pemerintah maupun DPRD yang mempertontonkan semangat mengeruk
keuntungan pribadi dengan mengabaikan pandangan dan kritik masyarakat luas.
Situasi ini salah satunya disebabkan oleh pemilihan kepala daerah yang
dilakukan oleh DPRD.(Lili Hasanudin:2003)
Pemilihan
Kepala Daerah secara langsung harus dimasukan dalam kerangka besar untuk
mewujudkan pemerintahan lokal yang demokratis. Setidaknya ada tiga alasan pokok
mengapa pemilihan Kepala Daerah secara langsung harus dikaitkan dengan
pemerintahan lokal yang demokratis. Pertama, pemerintahan lokal yang demokratis
membuka ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas
politik ditingkat lokal (political equality). Kedua, pemerintahan lokal yang
demokratis mengedepankan pelayanan kepada kepentingan publik (local
accountability). Ketiga, pemerintahan lokal yang demokratis meningkatkan
akselerasi pembangunan sosial ekonomi yang berbasis pada kebutuhan masyarakat
setempat (local responsiveness). Ketiga hal tersebut menjadi acuan pokok dalam
upaya menggulirkan wacana pemilhan langsung agar arah pengembangannnya memiliki
sandaran yang kokoh.
Menurut
Bambang Widjojanto (2003), setidaknya ada tiga hal penting yang menjadi dasar
serta alasan utama desakan masyarakat agar pemilihan kepala daerah secara
langsung :
a.
Pertama, masyarakat menginginkan agar kepala daerah lebih akuntabel kepada
rakyat pemilihnya dan bukan pada fraksi dari partai politik yang memilhnya atau
pejabat pemerintahan lain yang ikut menentukan hasil pemilihan itu;
b.
Kedua, rakyat menghendaki agar kepala daerah lebih berorientasi pada
kepentingan rakyat pemilihnya. Rakyat pemilih kelak akan dapat menentukan
sendiri, apakah Kepala Daerah tertentu dapat dipilih kembali untuk masa jabatan
kedua;
c.
Ketiga, pemilihan langsung akan membuat basis tanggung jawab Kepala Daerah
untuk berpucuk kepada para pemilih sejatinya bukan hanya kepada interest
politik dari kekuatan partai politik saja.
Sejak
dilakukannya perubahan UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami
perubahan. Salah satu dampak dari perubahan tersebut adalah perubahan sistem
pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dilakukan secara langsung.
Perubahan ini penting untuk meletakan kembali kedaulatan berada ditangan
rakyat, sehingga rakyat daerah khususnya memiliki peran dan kesempatan terlibat
dalam pengambilan keputusan-keputusan di bidang penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Perubahan ini tidak terlepas dari perubahan kehidupan masyarakat yang
mulai demokratis.
Pemilihan
umum merupakan wujud kebebasan masyarakat dan rasionalitas individu untuk
memilih pemimpinnya. Hal ini memiliki korelasi dengan pembentukan pemerintahan
daerah sebagai bentuk rasionalitas masyarakat daerah yang diwujudkan melalui
pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung. Tujuan
diadakannya pilkada langsung adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat berdasarkan
pilihan dan legitimasi dari rakyat.
Pilkada
langsung adalah wujud nyata dari pembentukan demokratisasi di daerah. Kepala
Daerah dan wakil Kepala Daerah dipilh dalam satu pasangan calon yang
dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil. Pengajuan pasangan calon Kepala Daerah bisa dilakukan oleh
partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD dengan
persyaratan tertentu dan/atau dari calon perseorangan dengan persyaratan tertentu
pula. Dibutuhkan suatu pilihan yang tepat oleh rakyat terhadap pasangan Kepala
Daerah sehingga dapat dihasilkan pasangan Kepala Daerah yang memiliki visi
meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah.
2.2. Pelaksanaan Pilkada Langsung
di Indonesia
Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 dijalankan berdasarkan
prinsip Otonomi Daerah. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu
untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan kenaekaragaman daerah.
Sebagai upaya menghadapi perkembangan keadaan , baik didalam maupun di luar
negeri, serta tantangan persaingan global, dipandang perlu menyelenggarakan
otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung
jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian dan pemanfaataan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan dan keadilan serta potensi dan keanekaragaman daerah, yang
dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.(Soedarsono:123)
UUD
1945 khususnya dalam pasal 1 ayat (2), menyatakan bahwa kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Hal tersebut berarti bahwa
kedaulatan tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilaksanakan
menurut ketentuan UUD. Ketentuan ini menimbulkan konsekuensi terhadap perubahan
beberapa peraturan perundang-undangan dibidang politik dan pemerintahan. Wujud
nyata kedaulatan rakyat diantaranya adalah dalam Pemilihan Umum baik memilih
anggota DPR, DPD, DPRD maupun untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara
langsung oleh rakyat yang dilaksanakan menurut Undang-Undang. Hal ini merupakan
perwujudan negara yang berdasarkan atas hukum dan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia, karena itu pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah juga dapat dilaksanakan secara langsung oleh rakyat.
2.3. Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah
Berbasis Pancasila
Pelaksanaan
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung dan tidak langsung memiliki
legitimasi yuridis konstitusional dan empirik. Pemilu bukan karakter yang
tunggal, bukan mekamnisme sederhana akuntabilitas publik atau penjaminan
kontrol politik. Menurut heywood pemilu adalah “ jalan dua arah” yang
disediakan untuk pemerintah dan rakyat, elit dan massa dengan kesempatan untuk
saling mempengaruhi. Pemilu adalah “ jalan dua arah” seperti yang ada pada semua
saluran komunikasi politik (Sigit Pamungkas : 2009). Agar pelaksaan lebih efisien, model sistem
Pilkada harus berdasarkan asas demokrasi dan nilai-nilai pancasila. Demokrasi
Pancasila menyerukan pembuatan keputusan melalui musyawarah mencapai mufakat.
Ini adalah demokrasi yang menghidupkan prinsip-prinsip Pancasila. Hal ini
mengimplikasikan bahwa hak demokrasi harus selalu diiringi dengan sebuah
kesadaran bertanggungjawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan
beragama masing-masing, dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan ke atas harkat
dan martabat manusia, serta memperhatikan penguatan dan pelestarian kesatuan
nasional untuk menuju keadilan sosial. Tawaran tentang jalan tengah
penyelesaian tarik menarik antara Pilkada langsung dan melalui DPRD disampaikan
oleh Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada, Selasa (23/9/2014). Usulan
tersebut yang disarikan dari diskusi kelompok ahli khusus membahas tentang
Pemilihan Kepala Daerah Berbasis Pancasila ( pikiran rakyat:2014).
Kepala
Pusat Studi Pancasila ”Sudjito” menyatakan Pusat Studi Pancasila tidak
bermaksud memihak kelompok yang mengusung Pilkada langsung dan Pilkada melalui
DPRD. Dari hasil kajian, terjadi pereduksian nilai dalam pemilihan Kepala
Daerah langsung maupun tidak langsung karena pelaksanaan Undang-Undang tentang
pemilihan kepala daerah melupakan dimensi moralitas perundang-undangan atau
tidak dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila. Undang-Undang Pilkada efektif atau
tidak, tergantung seberapa besar pelaksanaannya dibarengi dengan nilai-nilai
moralitas atau nilai-nilai Pancasila.
Tim
Ahli Pusat Studi Pancasila ”Muhammad Jazir” menyatakan pelaksanaan demokrasi di
Indonesia selama ini tidak bersifat asimetris, tidak mutlak berbasis satu
sistem. Undang-Undang mengamanatkan pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota secara
langsung, pelaksanaannya tidak semua daerah melaksanaan sistem teresebut.
Contoh, DI Yogyakarta tidak melaksanakan pemilihan gubernur, DKI Jakarta tidak
memilih langsung Bupati/Walikota, hanya memilih langsung Gubernur.
Berdasarkan
pengalaman empiris yang memiliki legitimasi yuridis tersebut, Pusat Studi
Pancasila mengusulkan sistem pemilihan Kepala Daerah tidak tunggal, langsung
saja atau melalui DPRD saja. Sistem Pilkada tidak satu model untuk seluruh
Indonesia. Daerah mana yang bisa melaksanakan Pilkada langsung, daerah mana
yang harus melaksanakan Pilkada melalui DPRD, itu bisa dipetakan dan
dicantumkan dalam UU Pilkada. Daerah yang secara sosial rawan konflik, ekonomi
daerah tidak memadai, rentan dengan krisis politik, Pilkada tidak langsung
lebih efektif. Uang biaya Pilkada yang besar lebih baik disalurkan untuk
kesejahteraan rakyat, sementaara Pilkada cukup melalui DPRD. Daerah mana yang
bisa diterapkan seperti itu, kita harus melakukan pemetaan usai Undang-Undang
mengakomodasi dan melegitimasi sistem pelaksanaan demokrasi yang berdasarkan
nilai nilai Pancasila.
2.4. Prosesi pilkada di Provinsi
Banten
2.4.1. Prosesi pilkada
di Provinsi Banten Tahun 2006
Pilkada
Banten pertama kali dilakukan pada tahun 2006 dengan dimenangkan oleh pasangan
Ratu Atut Chosyiah dan Masduki. Dimana sebelumnya Ratu Atut Chosyiah sudah
menjadi wakil gubernur bersama Joko Munandar. Dalam kemenangan ini Ratu Atut
Chosyiah menjadi gubernur pertama di Indonesia dari kaum wanita. Hal ini
menjadi kebanggan bagi rakyat Banten. Namun dibalik itu semua sudah ada agenda
bahwa keluarga Chasan Shohib sudah menyiapkan Banten untuk dijadikan tempat
kekuasaan penuh oleh keluarganya secara nyata. Hal ini menjadi sebuah wacana
besar di Banten. Dari lahirnya wacana tersebut keluarga dinasti membuat sebuah
simbol kekuasaan dengan simbol jawara. Dalam terjemahan orang Banten jawara
adalah orang kuat yang ditakuti oleh masyarakat Banten. Hal ini adalah moment
kebangkitan keluarga Chasan Shohib dan sangat masif untuk jangka panjang.
Karena awal disini, menjadikan beberapa kepala daerah di kabupaten /kota dari
keluarga dinasti. Namun dari hasil kemenangan ini terdapat sebuah gugatan dari
lawan Atut – Masduki.
“Dalam surat
permohonan keberatan tersebut, pihak Irsjad-Daniri mengajukan keberatan terhadap
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi Banten dan kepada Presiden
Republik Indonesia sebagai termohon dan turut termohon. Dalam tuntutannya,
mereka menyatakan, keputusan KPU Provinsi Banten Nomor 25/KEP-KPUD/2006
tertanggal 6 Desember 2006 tentang penetapan pasangan calon terpilih pada
Pemilihan Gubernur Banten 2006 dinyatakan tidak sah menurut hukum dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat”. Selanjutnya "Berdasarkan PP 6 tahun 2004 pasal 89
ayat 2 bahwa penyerahan hasil pleno penetapan pasangan calon terpilih dan hasil
penghitungan suara diserahkan kepada DPRD setelah tiga hari, dan tidak
ditentukan apakah hari libur atau hari kerja," kata Indra Abidin, Ketua
Kelompok Kerja (Pokja) Pencalonan KPUD Banten. Namun demikian, DPRD Banten belum
bisa menerima secara resmi hasil pleno KPUD Banten pada tanggal 6 Desember 2006
dengan alasan penyerahan tersebut secara resmi akan dilaksanakan pada tanggal
26 Desember 2006”. (ANTARA News, 2006)
Dari
berita diatas terdapat sebuah inti permasalahan kemenangan Ratu Atut – Masduki
digugat oleh calon gubernur yang kalah Irsjad-Daniri. Kekalahan ini menjadi sebuah
ketidak puasan bagi calon yang kalah. Karena pada pemilu ini calon Irsjad-Daniri
mengatakan bahwa ada terjadi sebuah kecurangan. Trus bagaimana dengan calon
yang menang. Tentu hal ini adalah sebuah pencapaian terbaik mereka. Karena
mereka sudah mengagendakan untuk mendirikan dinasti Banten. Namun jika dilihat
dari permasalahan pilkada Banten tahun 2006 di gugat apakah pilkada tahun
2012 pun sama? Tentu pertanyaan ini bisa
dilihat dalam pembahasan berikutnya.
2.4.2. Pilkada di Provinsi Banten tahun 2011
Tak hanya pilkada pada tahun 2006
saja yang di gugat. Pada tahun 2012 juga sama saja, malahan gugatan datang dari
semua lawannya. Semua lawannya yaitu Wahidin Halim-Irna Narulita, Jazuli
Juwaini-Makmun Muzakki, dan Dwi Jatmiko-Tjejep Mulyadinata. Mereka semua
menggugat bahwa kemenangan Atut – Rano didasari atas kecurangan yang nyata.
Bahkan semua calon juga sangat menolak akan kekuatan dinasti Atut. Sangat tak
bisa dipungkiri kekuatan Atut dalam kemenangannya tak terkalahkan walaupun
lawannya ada 4 pasangan calon yang sama - sama kuat. Terlihat dalam berita online dibawah ini.
“ November lalu,
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan sengketa Pemilukada Banten yang
diajukan tiga pasangan calon gubernur-wagub Banten, yakni Wahidin Halim-Irna
Narulita, Jazuli Juwaini-Makmun Muzakki, dan Dwi Jatmiko-Tjejep Mulyadinata.
Menurut Hadi
(kuasa hukum Dwi Jatmiko-Tjejep Mulyadinata), dengan adanya putusan yang
menunjukan adanya cacat hukum dalam proses pilkada Banten 2011 lalu, pihaknya
mengharapkan KPUD Banten menggelar pilkada ulang.” (Wisnu Wage Pamungkas, 2012)
Terbukti bahwa dalam pilkada Banten
tahun 2011 telihat sangatlah panas. Karena pada saat pilkada saat ini calon
petahana yaitu Ratu Atut Chosyiah menggandeng Rano Karno yang sebelumnya
menjadi wakil bupati Tangerang. Tak hanya itu agar kekuatan dinastinya langgeng
Atut menggandeng Rano dari Tangerang dan Atutpun berhasil memancing warga
Tangerang menjadi pendukungnya. Dan itu menjadi kenyataan, karena pada dasarnya
Tangerang Raya adalah kantongnya pendukung Wahidin – Irna. Strategi ini
sangatlah ampuh yang dilakukan Atut dengan menggandeng Rano. Namun meskipun
begitu kecurangan tetap dilakukan oleh Atut. Dan ini terbukti dengan semua
calon melaporkan Atut ke MK meskipun hasilnya sia – sia. Tak ada perubahan dan
pasangan Atut – Rano menang.
2.4.3. Pilkada di Provinsi Banten tahun 2017
Cerita
lama terulang kembali dalam pilkada Banten. Tak hanya pada tahun 2006 dan 2011.
Pada tahun 2017 pun gugatan kembali datang. Dalam pertarungan ini hanya
terdapat dua calon yaitu Wahidin – Andhika dimana pasangan ini wakilnya yaitu
Andhika Hazrumi adalah anak Atut ini membuktikan dinasti Atut di Banten
sangatlah kuat. Dibandingkan lawannya Rano – Embay dia mengalami kekalahan
meskipun Rano sebagai petahana wakil gubernur. Dalam proses pilkada di Banten
pada tahun 2017 ini terjadi sebuah kerucarangan menurut pasangan Rano – Embay.
Karena WH – Andhika hanya menang di Kab. Serang dan Kota Tangerang. Dan
kemenangan ini sangat masif. Sedangkan daerah lain dimenangkan oleh Rano –
Embay. Tak puas dengan kekalahan ini Rano – Embay membawa permasalah ini ke MK
dengan bukti – bukti nyata di lapangan. Dan kami sangat menarik untuk analisis
berita dibawah ini untuk prihal kemenangan pilkada 2017.
“Pengamat
Hukum Ismail Fahmi menegaskan jika dilihat dari hasil tersebut, maka bisa
dipastikan bahwa pilgub Banten tidak bisa digugat ke Mahkamah Konsitusi (MK). "Saat
ini ada bedanya 1,8 persen, jadi tak bisa dibawa ke MK. Selisih maksimal 1
persen adalah 1% x suara terbanyak yakni sekitar 24 ribuan. Dan faktanya
selisihnya 80ribuan jadinya. Oleh karenanya permohonan pemohon bisa
ditolak," kata Fahmi saat berbincangan dengan wartawan, Minggu (19/2) Ismail
mendasarkan pendapatnya tersebut pada Pasal 158 ayat (1) dan (2) UU Nomor 8
Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dijelaskan di dalam ayat (1)”
(RMOL. IHSAN DALIMUNTHE, 2017)
Dari
berita diatas dengan perspektif politik bahwa sesuatu yang diluar undang –
undang merupakan hal yang tak bisa dilakukan. Melihat itu semua, pasangan Rano
– Embay sudah menyadari akan ditolaknya oleh MK. Dan pasangan WH – Andhika pun
menyadari juga akan ditolak oleh MK. Tapi rasa penasaran Rano – Embay
membuktikan bahwa mereka telah dicurangi dan dimanipulasi suaranya dikedua
daerah tersebut. Karena mereka melihat jurang perbedaan suara yang berbeda jauh
dan beberapa tim suksesnyapun melihat kecurang hal tersebut. Jika kita melihat
teori Afan, panitia pengawas pelaksanaan pemilu Panitia ini merupakan lembaga
yang independen, yang terdiri dari unsur masyarakat, tidak mengandung elemen
dari masing – masing partai politik yang berkompetisi. Hal ini sangat perlu
diadakan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dalam proses penyelenggaraan pemilu.
Panwaslah ini ibaratnya sebuah “election judge”, seperti yang terdapat di
amerika serikat, yang menentukan apakah terjadi pelanggaran atau tidak. (Afan
Gaffar : 2005). Hal ini tidak untuk Banten. Namun kami menganalisa dengan
metode empiris bahwa pada tahun 2006, 2011 gugatan pilkada Banten selalu
ditolak. Dan bagi kelompok itu terbukti di pilkada 2017 dan yang menangpun dari
keluarga dinasti yang menang meskipun sebagai wakil gubernur. Jika dilihat dari
teori bahwa pilkada Banten jauh dari asas pancasila semua kemenangan diawali
dengan kecurangan dan kekerabatan.
Sumber: http://ksp.go.id/menangkal-potensi-konflik-pilkada-serentak-2017/
2.5. Faktor
dari permasalahan yang terjadi pada pilkada Provinsi Banten
Dari hasil pembahasan di atas bahwa
faktor masalah dalam pilkada Banten yaitu, dari setiap pilkada selalu hadir
gugatan hal ini dikarenakan calon gubernur yang menang adalah dari keluarga
yang sama juga kemenangan mereka dihasilkan dari kecurangan-kecurangan meskipun
pada faktanya memang terjadi kecurangan namun sangat disayangkan ketika digugat
ke MK dan hasil keputusan MK selalu menolak gugatan. Kelompok kami melihat ini
sebuah fenomena yang sifatnya sering terjadi. Bagi kami inilah sebuah
keseriusan pasangan calon gubernur yang kalah untuk memenuhi hak konstitusinya.
Sungguh memang menerima kekalahan itu tidak mudah tetapi, kekalahan atas dasar
kecurangan itu lebih menyakitkan. Itu terjadi pada tahun 2006 pada saat itu
kemenangan Atut-Masduki digugat oleh Irsjad Djuwaeli dan Mas Ahmad Daniri
selanjutnya pada tahun 2011 kemenangan Atut – Rano digugat Wahidin
Halim-Irna Narulita, Jazuli Juwaini-Makmun Muzakki, dan Dwi Jatmiko-Tjejep
Mulyadinata. Dan pada tahun 2017 pasangan Wahidin-Andhika digugat oleh
Rano-Embay semua gugatan itu ditolak dan semua yang menolak membenci kemenangan
dinasti. Sedangkan, dalam hal ini seharusnya ada sebuah upaya dari MK untuk
membuat pilkada ulang seperti halnya dikabupaten Lebak. Faktor kecurangan dan
faktor kekerabatan pada dinasti merupakan dasar kemenangan calon gubernur karena
dinasti ini bermodalkan kelompok-kelompok jawara banten yang masuk dunia
birokrasi dan hal ini sangat kuat untuk dilawan dan mungkin lawan diluar
keluarga dinasti siap-siap menerima kekalahan jika ingin bertarung.
Tabel pelanggaran Pilkada Banten
2006
|
2011
|
2017
|
·
Pemberian paket bahan pokok
berupa 2 kilogram beras, 1 liter minyak goreng, dan lima bungkus mi instan
·
Curi start lebih dulu
·
politik uang
·
tidak netralnya birokrasi.
|
·
pengerahan massa birokrasi
·
ketidaknetralan KPPS dan kepala
desa
·
Pembagian mi instan, sarung, dan sajadah
yang terjadi di berbagai daerah
·
pemberian sumbangan Rp 10 juta
kepada DKM Masjid At-Taubah
·
memanfaatkan APBD
|
·
Kampanye diluar Jadwal
·
APK tidak Sesuai Peraturan Paslon
·
Money Politics
·
Netralitas/Keterlibatan
·
Iklan Layanan masyarakat yang
masih ASN
·
Memasang foto paslon
·
Melanggar Kode Etik Penyelenggara
Pemilu
·
Double Job
·
Menguntungkan salah satu paslon
Lainnya
·
Memihak kepada salah satu paslon
|
Tabel Perolehan hasil suara Pilkada
Banten 2017
No
|
Nama Calon Gubernur
|
Hasil suara
|
1
|
Dr.
H. Wahidin Halim, MSi dan H. Andika Hazrumy, S.Sos., M.AP
|
50,93%
2.406.132
suara
|
2
|
H.
Rano Karno, S.IP dan H. Embay Mulya Syarief
|
49,07%
2.318.238
suara
|
BAB
3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari
hasil pembahasan sebelumnya, kelompok kami menyimpulkan bahwa pilkada sangat
sulit dilakukan secara baik sesuai dengan nilai demokrasi dan pancasila. Namun sudah
terjadi pilkada langsung pun sudah menghasilkan nilai-nilai demokrasi. Untuk
kelompok kami sendiri melihat lokusnya diprovinsi banten semua kegiatan politik
dikuasai oleh keluarga dinasti yaitu keluarga Chasan Shohib. Kelompok kami
melihat tidak ada gunanya pilkada di banten karena setiap kemenangan
dikendalikan oleh dinasti. Terbukti mulai dari tahun 2006, 20011 dan tahun 2017
semuanya dimenangkan oleh keluarga dinasti. Sedangkan gugatan-gugatan yang
dilayangkan oleh lawan tidak direspon MK. Kelompok kami melihat pilkada banten
hanya sebatas buang-buang APBD dan hanya menjalankan prosedur demokrasi karena yang menang rakyat banten sudah
mengetahui siapa yang menang dan siapa yang kalah. Memang benar lahirnya
otonomi daerah membawa efek negatif
yaitu lahirnya raja-raja kecil didaerah. Seperti halnya dinasti atut
meskipun gonta ganti wakil tidak ada pengaruh karena kemenangan pasti sudah ada
ditangan dan sekarang ditahun 2017 anaknya meneruskan ibunya karena masuk
penjara yaitu Ratu Atut Chosiyah. Dan kata terakhir dinasti atut diprovinsi Banten
tidak dapat diruntuhkan.
3.2. Saran
Dari
hasil kesimpulan di atas, kelompok kami memiliki saran bahwa KPU dan pihak yang
berwenang agar segera menindaklanjuti kecurangan. Selain itu juga MK seharusnya
memertimbangkan jauh lebih dalam setiap gugatan di pilkada provinsi Banten. Jika
ini dilakukan terus menerus maka pilkada hanya menghabiskan Anggaran karena yang
menang adalah dari keluarga dinasti terus - menerus. Dan jika ini dibiarkan
terus menerus maka Banten tidak ada perubahan yang ada praktik KKN yang
merajalela.
Daftrar
Pustaka
Romli,
Lili. 2007. PORET OTONOMI DAERAH DAN WAKIL RAKYAT DITINGKAT LOKAL. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Gaffar,
Afan. 2005. POLITIK INDONESIA TRANSISI MENUJU DEMOKRASI. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Pamungkas,
Sigit. 2009. PRIHAL PEMILU. Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan
FISIPOL UGM
Jurnal. Abdul Hamid. Politisasi
Birokrasi dalam Pilkada Banten 2006 Lab
Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sultan
Ageng TirtayasaJl. Raya Jakarta Km.4 Serang Banten, 42122. Telp/Faks. 0254
-20330/281254
Jurnal. PEMILIHAN LANGSUNG KEPALA DAERAH DI
INDONESIA: BEBERAPA CATATAN KRITIS UNTUK PARTAI POLITIK DIRECT ELECTION FOR
LOCAL LEADERS IN INDONESIA: SOME CRITICAL NOTES FOR POLITICAL PARTIES.
Ridho Imawan Hanafi Alumnus Pascasarjana Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Indonesia E-mail:
ridhoimawan@gmail.com Diterima: 22 Juli 2014; direvisi: 3
September 2014; disetujui: 25 Oktober 2014
Jurnal. Media Baru dan Fenomena
Komunikasi Politik Pada Pemilukada di Provinsi Banten 2011 Afdal Makkuraga
Putra afdalraga@yahoo.com
Jurnal.
PELAKSANAAN PILKADA BERDASARKAN ASAS
DEMOKRASI DAN NILAI-NILAI PANCASILA oleh Wahyu
Widodo
Jurnal. Jurnal: Konflik Pilkada Dalam Era Demokrasi .Tsani Khoirur Rizal. ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
Tanggapi Hasil Pilkada Banten, Irsjad-Daniri Sampaikan Keberatan ke MA Senin, 11 Desember 2006 18:50 WIB |
958 Views Serang (ANTARA News)
Sumber : Wisnu Wage Pamungkas. PILGUB BANTEN: Gugatan calon independen dikabulkan Februari 07/ 2012 19:03 WIB. Bandung.
Hasil Pilgub Banten Tak Bisa Digugat ke MK, Ini Alasannya Nusantara SENIN, 20 FEBRUARI 2017 , 00:06:00 WIB | LAPORAN: IHSAN DALIMUNTHE Ilustrasi/Net. RMOL
(sumber:http://www.polmarkindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3130)
|
http://bawaslu-bantenprov.go.id/cp-pub/uploads/files/REKAPITULASI_PENANGAN_PELANGGARAN.pdf
https://pilkada2017.kpu.go.id/hasil/t1/banten
SUKSES DEH
BalasHapus1xBet Korean (2021) Review | Online Betting, Sportsbooks
BalasHapus1xBet is deccasino a popular bookmaker in the kadangpintar Asian market. They are owned by Direx N.V. The company offers a very good 1xbet casino, sports betting, mobile app and
What is the minimum deposit casino? - Casino Scoop
BalasHapusMinimum deposit casinos are the minimum bet365 deposit casinos that accept Australian players. Most deposit bonuses 포커 게임 다운 for Australian players range 바카라 추천 사이트 from 아시아게이밍 $0.25 to 마틴 배팅 $5,